Pemimpin Zuhud
Posted by تان سليمانAnalisis, Halaqoh Online, Kajian Umum Online, sejarah, sejarahKhilafah5:15 PM
Oleh: Arief B. Iskandar
Suatu ketika, Abu Bakar r.a. pergi ke pasar hendak menjual beberapa kain dagangannya. Saat itu beliau belum lama dibaiat menjadi khalifah. Di tengah perjalanan, beliau berjumpa dengan Umar ra. Umar pun menyapa, “Wahai Abu Bakar, engkau mau kemana?”
“Ke pasar,” jawab Abu Bakar.
Umar berkata, “Jika engkau sibuk dengan perdaganganmu, lalu bagaimana dengan urusan Kekhilafahan?”
“Kalau begitu, mari kita menemui Abu Ubaidah. Dia akan menetapkan santunan untukmu dari Baitul Mal,” kata Umar.
Keduanya lalu pergi menemui Abu Ubaidah. Abu Ubaidah kemudian menetapkan santunan (bukan gaji, pen.) dari Baitul Mal sekadar memenuhi kebutuhan dasar Abu Bakar dan keluarganya untuk setiap bulannya.
Suatu ketika, istri Abu Bakar memohon kepada beliau, “Saya ingin sekali manisan.”
Beliau menjawab, “Aku tidak punya uang untuk membelinya.”
“Kalau engkau setuju, saya akan menyisihkan sedikit dari uang belanja tiap hari sehingga dalam beberapa hari uang akan terkumpul,” kata istrinya.
Abu Bakar pun mengizinkannya. Selang beberapa hari, uang terkumpul. Istrinya lalu menyerahkan uang itu kepada beliau untuk membeli bahan-bahan manisan. Beliau kemudian berkata, “Dari pengalaman ini, aku tahu, ternyata kita mendapatkan santunan berlebihan dari Baitul Mal.”
Akhirnya, uang yang sudah terkumpul itu pun dikembalikan oleh beliau ke Baitul Mal, tidak jadi dibelikan bahan-bahan manisan. Selanjutnya, Khalifah Abu Bakar meminta Baitul Mal agar memotong santunannya sebanyak yang pernah dikumpulkan istrinya setiap harinya.
Tak kalah dengan pendahulunya, Abu Bakar, Umar ra.—ketika menjadi khalifah dan mendapatkan santunan dari Baitul Mal—adalah seorang pemimpin yang sangat zuhud dan wara’.
Suatu ketika, beberapa Sahabat ra., di antaranya Ali, Utsman, Zubair, dan Thalhah berkumpul dalam suatu majelis untuk membincangkan usulan agar tunjangan untuk Khalifah Umar bin al-Khaththab ditambah, karena sepertinya tunjangan itu terlalu kecil. Namun, tidak seorang pun di antara mereka yang berani mengusulkan hal itu kepada Umar ra. Akhirnya, mereka bersepakat untuk meminta bantuan Hafshah, salah seorang istri Nabi saw., yang tidak lain adalah putri Khalifah Umar ra. Ummul Mukminin Hafshah kemudian menyampaikan usul tersebut kepada ayahnya, Umar ra. Mendengar itu, Khalifah Umar ra. bukannya senang; beliau tampak marah. Beliau berkata, “Siapa yang telah mengajukan usulan itu. Seandainya aku tahu nama-nama mereka, aku akan memukul wajah-wajah mereka!”
Khalifah Umar ra. kemudian berkata, “Sekarang, ceritakan kepadaku pakaian Nabi saw. yang paling baik yang ada di rumahmu.”
“Beliau memiliki sepasang pakaian berwarna merah yang dipakai setiap hari Jumat dan ketika menerima tamu,” jawab Hafshah.
Umar bertanya lagi, “Makanan apa yang paling lezat yang pernah dimakan oleh Rasulullah saw. di rumahmu?”
“Roti yang terbuat dari tepung kasar yang dicelupkan ke dalam minyak…,” jawab Hafshah.
“Alas tidur apa yang paling baik yang pernah digunakan Rasulullah saw. di rumahmu?” tanya Umar lagi.
“Sehelai kain, yang pada musim panas dilipat empat dan pada musim dingin dilipat dua; separuh untuk alas tidurnya dan separuh lagi untuk selimut,” jawab Hafshah lagi.
Khalifah Umar ra. lalu berkata, “Sekarang, pergilah. Katakan kepada mereka, Rasulullah saw. telah mencontohkan pola hidup sederhana, merasa cukup dengan apa yang ada demi meraih kebahagiaan akhirat. Aku tentu akan mengikuti teladan beliau….”
Dua fragmen di atas, jika dibayangkan pada masa kini, di tengah-tengah sistem kehidupan sekular dan serba materialistis, rasanya mustahil terjadi. Namun, itulah yang pernah terjadi dalam sejarah ketika kehidupan Islam diterapkan; ketika sistem pemerintahan Islam ditegakkan; dan ketika syariat dan nilai-nilai Islam diamalkan oleh para penguasa Muslim. Bahkan, dalam sejarah pemerintahan Islam, kehidupan zuhud sering menjadi pilihan para khalifah kaum Muslim. Ingat, mereka adalah para kepala Negara Islam, yang mewarisi wilayah kekuasaan yang sangat luas. Selama masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin saja, wilayah kekuasaan Islam adalah mencakup seluruh Jazirah Arab dan sebagian Afrika. Artinya, kalau mau, sangat mudah bagi khalifah manapun, dengan kekuasaan yang sangat besar itu, bergelimang dalam kemewahan. Namun, kehidupan zuhud justru menjadi pilihan utama umumnya para khalifah kaum Muslim yang salih.
Lalu bagaimana dengan kehidupan para pemimpin dalam pemerintahan sekular seperti sekarang ini? Jangan ditanya dan jangan jauh-jauh. Perhatikan saja gaya hidup para pemimpin dan pejabat negeri ini. Dengan gaji yang sudah sangat tinggi, rumah dinas yang lengkap, dan mobil dinas yang cukup mewah, mereka masih mendapatkan tunjangan ini-itu. Itu pun masih mereka anggap belum cukup. Disahkannya kebijakan untuk menambah tunjangan biaya operasional bagi setiap wakil rakyat sebesar 10 juta rupiah perbulan baru-baru ini, misalnya (bahkan konon ditingkatkan lagi menjadi 15 juta rupiah mulai Januari tahun ini), hanya sedikit kasus yang menggambarkan betapa para pemimpin negeri ini lebih senang hidup bergelimang harta ketimbang hidup sederhana. Ironisnya, itu mereka praktikkan di tengah mayoritas rakyat yang berkubang dalam kemiskinan. Setelah itu pun, di antara mereka masih saja ada yang korupsi.
Kita harus jujur mengakui, ini bukan sekadar persoalan orang/oknum, tetapi sudah menyangkut sistem. Salah satu buktinya, korupsi di negeri ini sudah sangat ‘membudaya’ dan merata, mulai dari tingkat pemimpin tertinggi hingga pegawai rendahan.
Pertanyaannya, masihkah kita rela hidup di bawah kepemimpinan para pemimpin, pejabat, dan wakil rakyat yang korup seperti sekarang ini? Masihkah pula kita merasa enjoy hidup dalam sistem sekular yang terbukti hanya memproduksi para pemimpin yang bobrok dan korup? Belum tibakah saatnya kita merindukan sistem pemerintahan Islam yang pasti akan melahirkan banyak pemimpin yang salih dan zuhud seperti Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar ra. dan para khalifah kaum Muslim yang salih lainnya?
Renungkanlah, wahai saudaraku….! []
No comments:
Post a Comment