Monday, October 3, 2011

Mengapa Aku Tanggalkan Bikini untuk Niqab?


Mengapa Aku Tanggalkan Bikini untuk Niqab?

Mengapa Aku Tanggalkan Bikini untuk Niqab?
Sebagai perempuan Amerika yang lahir di ‘Jantung’-nya Amerika, aku tumbuh dewasa seperti gadis-gadis lainnya dan terbiasa dengan kehidupan glamour kota besar. Kemudian aku pindah ke Florida, di Pantai Selatan Miami, di sebuah tempat populer bagi pencari kehidupan glamour. Tentu saja, saat itu aku juga melakukan apa yang dilakukan oleh umumnya gadis-gadis Barat. Aku hanya memperhatikan penampilan fisik dan daya tarikku, mengukur nilai reputasiku dari banyaknya perhatian orang lain padaku.
Aku berolahraga teratur hingga menjadi pelatih pribadi di sebuah perumahan mewah pinggir laut dan menjadi pengunjung setia pantai yang ‘suka pamer tubuh’ serta sukses mencapai taraf kehidupan yang ‘penuh gaya dan berkelas’.
Tahun-tahun berlalu, kupahami bahwa ukuran nilai kepuasan diri dan kebahagiaanku bergeser pada semakin tingginya aku menggunakan daya tarik kewanitaanku. Saat itu, aku sungguh menjadi budak mode. Aku sungguh menjadi sandera dari penampilanku sendiri.
Oleh karena celah kosong antara kepuasan diri dan gaya hidup makin melebar, maka aku mencari perlindungan diri dari tindakan pelarian ke alkohol dan pesta-pesta, dengan cara mengikuti meditasi, menjadi aktivis, dan belajar kepercayaan-kepercayaan alternatif, dengan tujuan agar celah kosong itu terkoreksi dan terlihat lebih landai. Namun, akhirnya aku sadar bahwa semua itu hanya seperti obat pemati-rasa saja, yang sakitnya bisa terasa kembali, daripada sebuah pengobatan yang benar-benar efektif.
Kemudian terjadi peristiwa 11 September 2001. Sebagai saksi atas terjadinya serangan berkelanjutan pada Islam, pada nilai-nilai dan budaya Islam, dan adanya deklarasi yang berkonotasi negatif mengenai “Aktivis Salib Baru”, aku tergugah untuk mulai memperhatikan Islam. Hingga saat itu aku mengasosiasikan semua yang berbau Islam dengan perempuan-perempuan yang berbaju seperti ‘kemah’, tukang pukul isteri, harem, dan dunia teroris.
Sebagai aktivis pembebasan perempuan dan sebagai orang yang mengupayakan dunia yang lebih baik untuk semua, jalanku bersilangan dengan jalan aktivis lainnya yang telah memimpin tindakan reformasi dan keadilan untuk semua tanpa pandang bulu. Aku bergabung dalam kampanye pembimbing baruku yang saat itu masih berlangsung, salah satunya adalah reformasi pemilihan umum dan hak-hak sipil. Sekarang ini, kegiatan aktivisku sudah sangat berbeda. Daripada mendukung keadilan untuk sebagian orang secara ‘selektif’, aku belajar bahwa yang ideal seperti keadilan, kebebasan dan penghargaan benar-benar berarti dan intinya bersifat universal, lalu antara masing-masing kebaikannya dan dasar kebaikan ketiganya harus sejalan dan tidak konflik. Untuk pertama kalinya, aku mengetahui sesungguhnya arti “semua orang diciptakan sederajat”. Tetapi yang sangat penting, aku belajar bahwa hanya perlu keyakinan untuk melihat dunia yang satu dan untuk melihat penyatuan dalam penciptaan.
Suatu hari aku melewati sebuah buku yang dikonotasikan negatif di Barat – Al-Quran Yang Suci. Tadinya aku tertarik pada gaya dan pendekatan Al-Quran dan kemudian minatku terbangkitkan lebih dalam pada pandangannya tentang keberadaan makhluk, kehidupan, penciptaan dan hubungan antara Pencipta dan penciptaan itu sendiri. Aku rasa Qur’an dapat menjadi sumber pembuka wawasan dan pengetahuan untuk hati dan jiwa tanpa perlu penerjemah atau pastor.
Akhirnya aku sampai pada momen penting yang mengubah kehidupanku selanjutnya: Pemahaman aktivis yang baru kurasakan untuk kepuasan diri baru-baru ini, ternyata tidak berarti apapun dibandingkan dengan memeluk sebuah keyakinan yang disebut Islam, yang memungkinkan aku hidup damai sebagai Muslim yang bisa bermanfaat.
Aku membeli sebuah gaun panjang yang cantik dan penutup kepala, mirip gaya busana Muslimah dan dengannya aku berjalan di jalan dan lingkungan tetangga yang sama, yang beberapa hari sebelumnya aku masih mengenakan celana pendek, bikini atau gaya busana Barat yang berkelas. Walaupun masyarakat, wajah dan toko semuanya tetap sama, ada satu hal yang sangat berbeda, karena untuk pertama kalinya -aku bukan lagi-, rasa damai itu juga bukan yang sama sepanjang hidupku sebagai perempuan. Aku merasa seolah-olah semua rantai telah putus dan akhirnya aku bebas sebenar-benarnya. Sangat menyenangkan melihat wajah heran dari orang-orang lain dibandingkan dengan melihat wajah pemangsa yang siap menerkam korbannya, yang sering kutemui dulu. Tiba-tiba saja beban itu terangkat dari bahuku. Aku tidak lagi menghabiskan waktuku untuk berbelanja, membeli kosmetik, ke salon dan melatih fisik untuk penampilanku. Akhirnya aku bebas.
Dari semua tempat itu, aku menemukan Islamku tepat di pusat dari tempat yang sering disebut sebagian orang sebagai ‘tempat tersering terjadinya skandal di bumi’, bagaimanapun membuat semua itu menjadikannya penuh cinta dan spesial.
Walaupun bahagia dengan Hijab, aku menjadi ingin tahu mengenai Niqab (cadar), karena melihat peningkatan angka Muslimah yang mengenakannya. Aku bertanya kepada suamiku yang juga Muslim, yang menikah denganku setelah aku menjadi Muslimah, apakah aku diperbolehkan mengenakan Niqab atau cukup dengan hijab-ku yang sekarang telah kukenakan. Dengan santainya suamiku menanggapi bahwa ia percaya bahwa Hijab adalah sebuah kewajiban namun tidak demikian dengan Niqab. Saat itu, Hijabku terdiri dari penutup kepala yang menutupi semua rambutku kecuali wajah dan gaun hitam panjang yang longgar, biasa disebut dengan Abaya yang menutupi tubuh dari leher hingga kaki.
Satu setengah tahun berlalu, aku mengatakan kepada suamiku bahwa aku ingin mengenakan Niqab. Alasanku kali ini, bahwa aku merasa akan lebih menyenangkan Allah, Yang Maha Pencipta, dan akan meningkatkan rasa damai dalam diri bila berpakaian lebih tertutup. Ia mendukung keputusanku dan mengantarku membeli ‘Isdaal’, sebuah gaun hitam longgar yang menutup dari kepala hingga kaki dan ‘Niqab’ yang menutup seluruh kepalaku termasuk wajah kecuali mata.
Tak lama, media mulai memberitakan tentang para politikus, pemuka Vatikan, pendukung kebebasan, aktivis HAM palsu yang berkali-kali mengkritik pedas tentang Hijab, apalagi Niqab, yang bagi orang lain tampak sebagai bentuk yang sangat kejam terhadap kaum perempuan, juga dianggap gangguan dalam bersosialisasi dan baru-baru ini seorang pegawai Mesir mengatakan bahwa hal itu ‘sebagai tanda-tanda kemunduran’
Lalu aku menilai sebuah kemunafikan parah saat beberapa pemerintahan Barat dan juga kelompok pembela HAM palsu yang tergesa-gesa mencoba membela hak-hak perempuan ketika pemerintahan beberapa Negara lainnya memaksakan penggunaan kode berbusana tertentu untuk perempuan. Sekalipun begitu ‘Pejuang Kebebasan’ melihat sisi lainnya ketika kaum perempuan kehilangan hak-haknya, tidak dapat bekerja, belajar, hanya karena memilih untuk menggunakan haknya untuk mengenakan Niqab atau Hijab. Sekarang ini, terjadi peningkatan pembatasan kaum perempuan yang mengenakan Hijab atau Niqab dari kesempatan bekerja dan pendidikan, bukan hanya di bawah rejim yang totaliter seperti di Tunisia, Maroko dan Mesir, melainkan juga di Negara-negara demokrasi seperti Perancis, Belanda dan Inggris.
Saat ini, aku masih tetap menjadi aktivis perempuan, tepatnya aktivis perempuan Muslim, yang memanggil para Muslimah untuk mengambil tanggung jawab mereka memberi dukungan semampunya kepada suami agar menjadi Muslim yang baik. Untuk membesarkan anak-anak mereka agar menjadi Muslim yang jujur dan bertanggungjawab, sehingga mungkin nanti bisa menjadi cahaya untuk kemanusiaan. Untuk memerintahkan kebaikan –kebaikan apapun- dan untuk mengharamkan kejahatan –kejahatan apapun-. Untuk berbicara tentang kebenaran dan kebajikan serta melawan semua keburukan-keburukan. Untuk memperjuangkan hak-hak kita mengenakan Niqab atau Hijab untuk menyenangkan Yang Maha Pencipta, apapun yang kita pilih. Dan juga penting, untuk membagi pengalaman mengenakan Niqab atau Hijab kepada teman perempuan yang mungkin belum pernah berkesempatan untuk mengerti apa arti sesungguhnya mengenakan Niqab atau Hijab bagi kita dan alasan-alasan kita sehingga, dengan penuh cinta, kita memeluknya.
Sebagian besar perempuan yang kuketahui mengenaikan Niqab adalah Muallaf Barat, sebagian dari mereka bahkan belum menikah. Yang lain mengenakan Niqab tanpa dukungan penuh dari keluarga maupun lingkungan dekatnya. Apa yang umumnya kita miliki adalah, bahwa semua itu adalah pilihan pribadi setiap orang atau masing-masing dari kita, yang tidak satupun dari kita menginginkan untuk menyerah.
Mau atau tidak mau, kaum perempuan dibombardir dengan gaya “berbusana minim hingga tanpa busana” secara virtual dalam setiap bentuk komunikasi dimanapun di dunia ini. Sebagai seorang bekas Non-Muslim, aku tetap menuntut hak-hak perempuan untuk sama-sama mengetahui mengenai Hijab, kebaikan-kebaikannya, dan kedamaian serta kebahagiaan yang dibawanya ke dalam kehidupan perempuan, seperti yang telah terjadi padaku.
Kemarin, bikini merupakan lambang kebebasanku, yang sesungguhnya membebaskanku dari kepercayaan-kepercayaanku dan sebagai manusia biasa.
Aku tidak dapat lebih gembira lagi karena telah menanggalkan bikiniku di Pantai Selatan dan gaya hidup Barat yang gemerlapan itu, untuk hidup damai dengan Penciptaku dan menikmati hidup di antara teman-teman sesama manusia sebagai pribadi yang layak menerimanya. Hal itu adalah alasanku untuk memilih mengenakan Niqab dan bersedia mati membela hakku yang tak mungkin bisa dicabut untuk mengenakannya.
Hari ini, Niqab adalah simbol baru pembebasan perempuan untuk menemukan siapa dirinya, apa tujuannya dan bagaimana bentuk hubungan yang dipilihnya agar bisa bersama Penciptanya.
Kepada perempuan yang menyerah terhadap anggapan buruk mengenai ketertutupan Hijab yang islami, aku bisa berkata: Engkau tidak mengetahui apa yang terlewatkan olehmu.
Kepadamu, penguasa peradaban yang korup dan tidak beruntung, juga para aktivis palsu, aku bisa berkata: Bawalah terus…
[Ditulis oleh Sara Bokker, dahulu seorang aktris/model/pelatih fitness dan seorang aktivis. Saat ini Sara Bokker adalah Direktur Komunikasi di “The March for Justice”, salah seorang pendiri ‘Global Sisters Network” dan Produser “Shock and Awe Gallery. Tulisan ini diambil dari situs www.marchforjustice.com Cerita ini juga pernah dimuat di www.saudigazette.com.sa Sara bisa dihubungi disrae@marchforjustice.com
sumber : hidayatullah]

No comments:

Post a Comment