PendahuluanMayoritas umat Islam di Indonesia pada masa kontemporer ini menurut hemat saya, telah terjebak ke dalam sebuah paradigma yang menganggap bahwa studi/kajian filsafat merupakan sesuatu mengerikan, alergi, sulit, dan berbelit-belit karena memandang orang-orang yang telah mempelajari filsafat atau mengkajinya secara umum bisa mengalami perubahan radikal, contohnya, orang yang tadinya selalu mengerjakan sholat lima waktu setelah mempelajari filsafat ia tidak pernah mengerjakan sholat lima waktu kembali bahkan lebih parah lagi, sampai-sampai ada yang gila dan masih banyak lagi contoh yang lainnya.
Pada dasarnya, saya berpendapat bahwa pandangan tersebut bisa menjadi benar dan bisa juga menjadi salah. Mengapa, karena mungkin saja orang yang sampai seperti sedemikian rupa karena kurang memiliki fondasi kedalaman pengetahuan agama yang kokoh yang menyebabkan dirinya sendiri terjerumus ke dalam pemahaman-pemahaman yang keliru. Tapi persoalannya, terkadang orang yang memiliki fondasi kedalaman pengetahuan agama yang kokoh pun ragu untuk mempelajari filsafat disebabkan oleh kurangnya kepercayaan diri sehingga jarang sekali orang yang mau mengkaji filsafat apalagi masuk ke dalam dunia akademis yang jurusannya filsafat. Yang demikian, merupakan sebuah fakta yang tidak bisa dinafikan.
Maka daripada itu, saya mencoba untuk memberikan sebuah pencerahan bagi pembaca makalah sederhana ini yang sudah pasti memiliki banyak kekurangan dalam penulisan maupun isinya mengenai eksistensi filsafat di dunia Islam yang pada hakikatnya ia merupakan salah satu dari bagian agama tersebut dan memiliki peranan penting dalam perkembangan intelektual kita selaku umat Nabi Muhammad SAW.
Sebenarnya, makalah yang saya tulis ini adalah tugas UTS mata kuliah Filsafat Islam I yang telah mengalami beberapa kali koreksi dari dosen yaitu Nanang Tahqiq, M.A., semoga ia selalu dianugerahkan kesehatan oleh Allah SWT. Tapi selain daripada itu, makalah ini pula yang menjadi sumber inspirasi utama dalam memberikan gagasan inti pencerahan kepada pembaca agar senantiasa dapat memahami filsafat sebagaimana mestinya dalam agama Islam dan mampu memberikan semangat untuk mengkaji filsafat dalam dunia Islam lebih mendalam dengan tujuan untuk memberikan anggapan bahwa filsafat bukan merupakan sesuatu yang baru dan asing. Terakhir, saya meminta maaf apabila terdapat kekeliruan di dalam berpendapat dan berargumentasi mengenai hal-hal yang perlu ditinjau ulang kembali.
Pokok Bahasan
Dalam kacamata tradisi intelektual Barat, filsafat Islam terlihat hanya sebatas filsafat Yunani dalam baju Arab yang salah satu dari perannya adalah menyalurkan unsur-unsur penting tertentu dalam warisan zaman kuno kepada Barat abad pertengahan. Tetapi, jika kita melihat aspek historis berdasarkan tradisi filosofis Islam yang mempunyai perkembangan intelektual yang tidak diragukan lagi oleh dunia sejarah berkesinambungan dua belas abad dan masih tetap hidup hingga sampai saat ini, menjadi sangat jelas bahwa filsafat Islam seperti hal-hal lainnya yang berlabel ”Islam”, berakar pada al-Qur’ân dan Hadîts.
Mengapa para filsuf/intelektual Barat berpendapat negatif seperti di atas, tak lain disebabkan oleh dua faktor yang begitu menonjol. Pertama, kegairahan para filsuf Muslim dalam menelaah, mempelajari dan menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab dilihat oleh para intelektual Barat hanya sekedar transmisi filsafat Yunani ke dalam kerangka bahasa Arab dan merupakan upaya semu dalam mengislamkan khazanah yang terdapat di dalamnya.
Kedua, minimnya penguasaan para filsuf/intelektual Barat tentang literatur kebudayaan Islam secara umum dan perkembangan pengetahuan di Persia khususnya[1] yang mempengaruhi pola berpikir mereka sehingga menimbulkan persepsi yang sedemikian rupa[2].
Filsafat Islam adalah filsafat Islam, tidak hanya sebatas pembudidayaan filsafat Yunani[3] di dunia Islam yang dilakukan oleh para filsuf Muslim, melainkan juga karena menjabarkan atau mendeskripsikan prinsip-prinsip filosofis dan menimba inspirasi dari sumber-sumber wahyu Islam serta menangani banyak persoalan-persoalan yang bersifat filosofis dengan sumber-sumber yang ada. Semua filsuf Muslim yang diawali oleh al-Kindî sampai filsuf saat ini ’Allâmah Thabâthabâ’î yang hidup dan bernafas dalam satu komunitas yang diwarnai oleh realitas al-Qur’ân dan Sunnah Nabi. Yang demikian merupakan salah satu indikasi yang bertentangan dengan kacamata tradisi intelektual Barat yang menganggap bahwa filsafat Islam terlihat hanya sebatas filsafat Yunani dalam baju Arab.
Setidak-tidaknya ada dua faktor yang dapat membuktikan bahwa prinsip-prinsip filsafat Islam berakar dari al-Qurân dan Sunnah. Pertama, dari segi sumber kita mendapatkan semangat kuat para filsuf Muslim dalam bertindak selalu berlandaskan kepada al-Qur’ân dan Sunnah. Sebagaimana dalam ketentuan syarî’at Islam, setiap Muslim harus hidup berlandaskan kepada al-Qur’an dan Sunnah. Begitu pula dengan para filsuf maupun para intelektual Muslim dalam bertindak harus berlandaskan kepada keduanya.
Al-Qur’ân dan Sunnah telah merombak pola berfillsafat dalam Islam secara radikal sehingga lahirlah hal yang disebut sebagai filsafat profetik. Jadi, kandungan al-Qur’ân dan pancarannya kepada Nabi Muhammad SAW mampu menyinari setiap kajian filsafat dan pengetahuan dalam Islam dan ini merupakan satu bukti bahwa ia adalah seorang filsuf.
Kedua, falsafah dalam al-Qur’ân adalah al-Hikmah. Kata tersebut tercatat dalam al-Qur’an sebanyak dua puluh kali lebih di dalamnya, sedangkan failasuf orang yang menekuni falsafah/berfalsafah tercatat sebagai al-Hakîm. Seperti kita ketahui mengenai para nabi baik yang harus kita ketahui maupun tidak mengajarkan al-Kitâb dan al-Hikmah. Dengan kata lain para nabi adalah para failasuf.
Selain dari itu, dalam surah Luqmân yang dimulai huruf-huruf simbolik yaitu alif, lâm, mîm yang kemudian diikuti oleh ayat selanjutnya yang artinya: ”inilah ayat-ayat al-Qur’ân yang mengandung hikmah” (al-Kitâb al-Hakîm), yang mempunyai esensi makna langsung mengenai hikmah dan banyak pula ayat-ayat yang menyebutkan al-Kitâb dan al-Hikmah secara berturut-turut.
Sedangkan, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara dalam bukunya yang berjudul ”Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam” mencoba mengafirmasi eksistensi filsafat Islam dengan beberapa argumentasi. Pertama, ketika corak filsafat Yunani mulai dikenal di dunia Islam, Islam telah terlebih dahulu menyusun sistem teologi yang menekankan ketauhidan dan hukum syarî’at sebagai pedoman hidup bagi siapapun. Sistem teologi dan hukum syarî’at yang telah tersusun itu telah mendominasi kehidupan umat Islam sehingga segala sesuatu yang bisa dikatakan dan dianggap dari luar Islam dapat diterima asalkan tidak bertentangan dengan hukum syarî’at tersebut. Contohnya, ketegangan antara al-Kindî dengan Abu Ma’syar yang memandang filsafat sebagai bid’ah adalah bukti historis adanya dorongan islamisasi filsafat Yunani ke dunia Islam. Dengan demikian, disadari atau tidak telah terjadi pengislaman filsafat Yunani oleh para filsuf Muslim.
Kedua, sebagai seorang pemikir, para filsuf Muslim merupakan pemerhati filsafat asing (Yunani) yang kritis. Apabila ada kekurangan dalam teori filsafat Yunani tanpa ragu lagi para filsuf Muslim bersedia untuk memberikan solusi dengan sangat mendasar. Salah satu contohnya, seorang filsuf yang lebih dikenal daripada yang lainnya di kalangan umat Islam yaitu Ibn Sînâ sekalipun ia digolongkan sebagai filsuf pripatetik (pengikut Aristoteles) tetapi ia tidak segan-segan untuk mengkritik pandangan Aristoteles dan menyempurnakannya dengan teori yang baru. Implikasi dari daya kritis tersebut, filsafat Yunani mengalami tranformasi radikal sehingga menciptakan teori filsafat yang khas, yang berbeda dari filsafat manapun, baik filsafat Yunani (yang sebelumnya) dan filsafat Barat (pada zaman kontemporer ini).
Ketiga, kita bisa melihat adanya perkembangan yang unik di dalam filsafat Islam setelah adanya intraksi antara Islam sebagai agama dan filsafat Yunani sehingga dikembangkan oleh para filsuf sebelumnya. Salah satu contohnya, kita dapat melihat bukti konkrit adanya perkembangan filsafat dalam Islam yang tidak ada sebelumnya dalam teori filsafat yang lain yaitu filsafat kenabian/profetik (nubuwwah) seperti yang telah dijelaskan.[4]
Realitas al-Qur’ân dan Wahyu yang dapat diakses oleh manusia harus menduduki posisi sentral bagi setiap orang yang hendak berfilsafat dalam dunia Islam. Filsafat Islam sangat erat sekali kaitannnya dengan dimensi eksternal al-Qur’ân (syarî’at) maupun dengan kebenaran internal (haqîqah) yang merupakan jantung segala sesuatu hal dalam Islam. Hal ini akan mengarahkannya kepada sejenis filsafat yang berorientasikan menempatkan kitab wahyu bukan hanya sekedar sumber primer yang tertinggi dalam pengetahuan bagi hukum-hukum keagamaan (syarî’at), melainkan juga sebagai sumber primer yang tertinggi dalam pengetahuan bagi hakikat eksistensi dari segala sumber eksistensi, karena pada dasarnya hakikat dari segala hakikat adalah Tuhan itu sendiri.
Sebagian ahli syarî’at mengambil sikap kontra terhadap filsafat dan sebagian lagi tidak. Namun, pada kenyataannya para filsuf terkemuka seperti Ibn Rusyd, Ibn Sînâ dan para filsuf lainnya merupakan tokoh-tokoh yang ahli dalam bidang syarî’at sekaligus mempunyai otoritas dalam mengambil suatu ketentuan hukum dalam hal tersebut.
Realitas wahyu Islam dan partisipasi dalam realitas tersebut merekonstruksi perangkat berfilsafat di dalam dunia Islam. Intelek teoritis para filsuf Muslim bukan lagi merupakan intelek teoritis Aristoteles yang mana peristilahannnya dialihbahasakan ke dalam bahas Arab. Intelek teoritis yang merupakan suatu landasan epistemologis dalam segenap kegiatan berfilsafat, diislamisasikan secara demikian halus sehingga tidak selalu begitu mudah untuk dianalisis jika orang hanya menganalisis kosakata teknis yang digunakan di dalamnya. Al-Qur’ân dan seluruh aspek tradisi Islam yang berakar padanya memiliki dimensi lahiriah/luar (Zhâhir) dan dimensi batiniah/dalam (bâthin). Selanjutnya, sejumlah ayat al-Qur’ân sendiri menyinggung signifikansi batiniah dan simbolik kitab wahyu.
Ada sebagian pihak berpendapat bahwa filsafat dan agama masing-masing memiliki landasan berbeda sehingga menjadi sesuatu yang mustahil bahwa filsafat merupakan produk dari sebuah agama, kalaupun ada, maka itu hanya merupakan sesuatu yang tak lebih dari teologi mengenai agama dan bukan merupakan produk dari sebuah agama. Tetapi, pada dasarnya filsafat Islam maupun teologinya berasal dari agama itu sendiri sesuai dengan kedua faktor yang telah diutarakan pada awal-awal.
Ada perbedaan cukup mendasar yang berperan penting dalam pengertian filsafat dan teologi. Teologi hanya sebatas sebuah polemik yang berkaitan erat dengan prinsip-prinsip terhadap agama tertentu. Sedangkan, filsafat bersifat lebih umum dan universal yang berlaku untuk segala sesuatu.[5]
Dengan demikian, kajian yang mendalam mengenai filsafat Islam selama dua belas abad lamanya mampu mengungkapkan peranan al-Qur’ân dan Hadîts dalam perumusan, penjelasan, dan pemecahan seluruh problematika tradisi filosofis yang besar dan utama ini. Karena, filsafat Islam pada dasarnya merupakan hermeneutika filosofis dan teks sakral di samping memanfaatkan khazanah filsafat zaman purba kala. Itulah sebabnya mengapa filsafat Islam selama berabad-abad sampai hari ini merupakan salah satu faktor atau perspektif intelektual utama dalam peradaban Islam yang tertanam dalam al-Qur’ân dan Hadîts.
Daftar pustaka:
- Nasr, Seyyed Hossein, & Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Buku pertama, ter. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan 2003.
- Fakhry, Madjid, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul Am. Bandung: Mizan 2001.
- Leaman, Oliver, Pengantar Filsafat Islam, Sebuah Pendekatan Tematis, ter. Musa Kazhim dan Arif Mulyadi. Bandung: Mizan 2001.
- Kartanegara, Mulyadhi, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Lentera Hati 2006.
* Penulis adalah mahasiswa jurusan Falsafah dan Agama Universitas Paramadina Jakarta.
[1] Pada masa awal perkembangan intelektual ataupun ilmu pengetahuan di dunia Islam, tak lain salah satu cirri dari perkembangannya adalah perkembangan ilmu pengetahuan mengenai astronomi dan matematika di Persia, salah satu dari tokohnya yaitu Abû Mûsâ al-Khawârizmî yang dijuluki sebagai seorang muslim penemu ilmu matematika.
[2] Lihat tulisan Musa Kazhim dalam buku Madjid Fakhry, Pengantar filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, ter. Zaimul Am. Bandung: Mizan 2001. Hal. xi-xvi.
[3] Yunani adalah suatu tempat yang di dalamnya merupakan awal dari perkembangan filsafat sampai saat ini, di antara tokoh-tokohnya adalah Socrates, Plato dan Aristoteles sehingga mayoritas para filsuf barat berpersepsi bahwa filsafat Islam hanya sekedar filsafat Yunani dalam baju Arab.
[4] Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Lentera Hati 2006. Hal 20-23.
[5] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, terj. Musa Kazhim dan Arif Mulyadi. Bandung: Mizan 2001. Hal. 14.
http://darul-ulum.blogspot.com/2006/12/al-qurn-dan-hadts-sebagai-sumber-dan.html
No comments:
Post a Comment