Monday, February 7, 2011

Antara Ahmadinejad, Bung Hatta dan SBY


Renungan HUT RI Ke 65



Kusmayanto Kadiman, Menteri Negara Riset dan Teknologi RI saat itu mendapat kesempatan untuk mendampingi Presiden Iran Mahmoud Amadinejad ke Jakarta, dari Selasa 9 Mei hingga Jumat 12 Mei 2006 dalam kunjungan kenegaraannya. Sekelumit pengalaman mendampingi Ahmadinejad itu dipublikasikan Pak Kadiman dalam artikelnya yang dimuat Koran Kompas. Pak Kadiman yang saat itu menjabat sebagai Menristek menulis, Ahmadinejad tampil sederhana. Presiden Iran ini jauh dari tampilan glamor. Sepatu, kaus kaki, celana panjang, baju putih kerah, dan jas yang dia pakai tanpa embel-embel merek terkenal dan biasa kita jumpai di dalam negeri. Ia pun tidak pernah berdasi sebagai salah satu ciri khasnya.
Figur sederhana seperti ini mungkin sulit ditemukan pada tokoh-tokoh nasional saat ini yang cenderung glamour dan ingin tampil beda. Tidaklah heran bila presiden seperti Ahmadinejad disambut luar biasa oleh masyarakat Indonesia. Sambutan luar biasa itu bisa dikatakan sebagai kritikan bagi para pejabat pemerintah saat ini, khususnya kepada Presiden SBY.
SBY dan Kemewahannya
Belum lama ini, Wisnu Nugroho, wartawan istana memotret bagian kehidupan para pejabat Indonesia yang cenderung glamour. Wisnu dalam bukunya, Pak Beye dan Istananya, menulis dunia glamour para pejabat dan bahkan anak presiden SBY. Ketika berbicara mobil-mobil khusus yang berparkir di istana. Wisnu yang juga wartawan istana menulis, "Tidak sembarang orang bisa memarkir mobilnya di halaman istana."
Mobil putra bungsu Pak Beye, Edhie Baskoro Yudhoyono, tak lepas dari catatan Wisnu. Setidaknya dua mobil Ibas -sapaan Edhie Baskoro- terekam kamera Wisnu, yakni Audi bernopol B 24 EB dan Chevrolet bernopol B 2411 EB. Masih ada Mercedes-Benz, BMW, dan merek lain yang juga kerap ditunggangi Ibas. Pada setiap pelat nomor mobil Ibas, dua huruf belakangnya selalu sama, yakni EB. Itu menunjukkan siapa pemilik mobil-mobil tersebut. Selain itu, selalu ada unsur angka 24 yang menunjukkan tanggal kelahiran si empunya.
Saat rapat kabinet, halaman Istana Negara menyerupai showroom mobil. Puluhan Toyota Camry hitam, mobil dinas menteri saat itu (sekarang Toyota Crown), berjajar rapi. Rupanya, ada satu mobil yang berbeda mereknya. Mobil berpelat nomor RI 13 itu bermerek Lexus. Itu adalah kendaraan Menko Kesra kala itu, Aburizal Bakrie.
Mendengar cerita Wisnu, kita sebagai bangsa Indonesia sepatutnya bersedih karena mental-mental yang diistilahkan dengan bapak bangsa ini tidak dapat mengayomi rakyat kecil. Jabatan bukan lagi dipahami sebagai pelayan rakyat, bahkan sekarang ini para pejabat cenderung minta dilayani oleh rakyat.
Kisah Sepatu Bung Hatta
Pada faktanya, mental pejabat-pejabat itu bukanlah warisan mental pejabat bangsa dari masa ke masa. Kita di awal kemerdekaan, pernah mempunyai pejabat-pejabat yang pernah berbakti kepada rakyatnya. Mereka adalah para pejabat sebenarnya yang memposisikan diri sebagai pelayan rakyat. Salah satu di antara mereka adalah Bung Hatta, Bapak Proklamator dan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia.
Ada kisah terkait Bung Hatta yang benar-benar menyayat hati. Terlebih kisah itu dibaca dan didengar saat banyak para pejabat yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa mempedulikan kepentingan rakyat. Kisah itu belum lama ini kembali dipublikasikan di milis jurnalis yang banyak mendapat tanggapan dari wartawan-wartawan anggota milis itu.
Pada tahun 1950-an, Bally adalah sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi dan tidak murah. Bung Hatta, Wakil Presiden pertama RI, berminat pada sepatu itu. Ia kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut.
Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang untuk meminta pertolongan. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi.
Yang sangat mengharukan dari cerita ini, guntingan iklan sepatu Bally itu hingga Bung Hatta wafat masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang Hatta. Padahal, jika ingin memanfaatkan posisinya waktu itu, sangatlah mudah bagi beliau untuk memperoleh sepatu Bally. Misalnya, dengan meminta tolong para duta besar atau pengusaha yang menjadi kenalan Bung Hatta.
Namun, di sinilah letak keistimewaan Bung Hatta. Ia tidak mau meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri dari orang lain. Bung Hatta memilih jalan sukar dan lama, yang ternyata gagal karena ia lebih mendahulukan orang lain daripada kepentingannya sendiri.
Pendeknya, itulah keteladanan Bung Hatta, apalagi di tengah carut-marut zaman ini. Bung Hatta meninggalkan teladan besar, yaitu sikap mendahulukan orang lain, sikap menahan diri dari meminta hibah, bersahaja, dan membatasi konsumsi pada kemampuan yang ada. Kalau belum mampu, harus berdisiplin dengan tidak berutang atau bergantung pada orang lain.
Seandainya bangsa Indonesia dapat meneladani karakter mulia proklamator kemerdekaan ini, seandainya para pemimpin tidak maling, tidak mungkin bangsa dengan sumber alam yang melimpah ini menjadi bangsa terbelakang, melarat, dan nista karena tradisi berutang dan meminta sedekah dari orang asing.
Bung Hatta dan Rahasia Negara
Kesederhanaan keluarga Bung Hatta serta sangat kokohnya mantan wakil presiden itu dalam berpegang pada prinsip mungkin dapat disimak dari penuturan Meutia, putri Bung Hatta mengenai kisah sebuah mesin jahit. Sewaktu ayahnya masih menjadi orang nomor dua di republik ini, ternyata untuk membeli sebuah mesin jahit pun tidak bisa dilakukan begitu saja.
Menurut penjelasan antropolog dari Universitas Indonesia tersebut, ibunya -Rahmi Hatta- harus menabung sedikit demi sedikit dengan cara menyisihkan sebagian dari penghasilan yang diberikan Bung Hatta. Namun rencana membeli terpaksa ditunda, karena tiba-tiba saja pemerintah waktu itu mengeluarkan kebijakan sanering (pemotongan nilai uang) dari Rp 100 menjadi Rp 1. Akibatnya, nilai tabungan yang sudah dikumpulkan Rahmi menurun dan makin tidak cukup untuk membeli mesin jahit.
"Karena ikut terkena dampak adanya keputusan sanering tersebut, Ibu kemudian bertanya pada Ayah kok tidak segera memberi tahu akan ada sanering. Dengan kalem Ayah menjawab, itu rahasia negara jadi tidak boleh diberitahukan, sekalipun kepada keluarga sendiri" kata istri ekonom Prof Dr Sri-Edi Swasono itu.
Ketika Bung Hatta pulang dari kantor, Nyonya Rahmi Hatta, istri Bung Hatta, mengeluh, "Aduh, Ayah ?! Mengapa tidak bilang terlebih dahulu, bahwa akan diadakan pemotongan uang ? Yaaa, uang tabungan kita tidak ada gunanya lagi! Untuk membeli mesin jahit sudah tidak bisa lagi, tidak ada harganya lagi.?"
Keluhan wanita mungkin mempunyai alasan tersendiri. Tetapi seorang pejabat negara seperti Bung Hatta menjawab, "Yuke, seandainya Kak Hatta mengatakan terlebih dahulu kepadamu, nanti pasti hal itu akan disampaikan kepada ibumu. Lalu kalian berdua akan mempersiapkan diri, dan mungkin akan memberi tahu kawan-kawan dekat lainnya. Itu tidak baik!"
Bung Hatta kepada istrinya menjelaskan, "Kepentingan negara tidak ada sangkut-pautnya dengan usaha memupuk kepentingan keluarga. Rahasia negara adalah tetap rahasia. Sunggguhpun saya bisa percaya kepadamu, tetapi rahasia ini tidak patut dibocorkan kepada siapapun. Biarlah kita rugi sedikit, demi kepentingan seluruh negara. Kita coba menabung lagi, ya?"
Setelah penjelasan Bung Hatta itu, Nyonya Rahmi Hatta yang saat itu menjadi istri nomor dua di Indonesia, sepenuhnya dapat memahami prinsip suaminya. Berkat pengalaman hidup bersama bertahun-tahun, Rahmi Hatta mengakui keyakinannya terhadap prinsip Bung Hatta makin besar pula. (AR/IRIB)
Last Updated ( Saturday, 14 August 2010 16:23 )
 

http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=24399%3Aantara-ahmadinejad-bung-hatta-dan-sby&catid=55%3Aopini&Itemid=103

No comments:

Post a Comment